Sudahkah bersyukur hari ini?
Nampaknya, hanya pertanyaan sederhana. Padahal, tidak. Aku dari dulu ingin menuliskan ini, cuma belum sempat saja. Jadi cuma jadi draft di kepala, hehe.
Beberapa hari lalu, sepulang sekolah, kira-kira mendekati pukul enam, saya bertemu dengan beberapa orang yang menohok saya agar selalu bersyukur. Di senja yang seharusnya dihabiskan dengan meminum secangkir teh tanpa gula, banyak orang yang masih harus bekerja demi rupiah yang akan ditukar dengan sembako.
Ada bapak penjual koran yang (maaf) kakinya tidak berjalan dengan baik, ia masih berdiri dengan setumpuk koran di dekat lampu merah.
Hati saya mencelos. "Ya Allah, kenapa aku yang punya kaki normal, makan terjamin, kadang lupa bersyukur?"
Ada bapak penjual siomay yang harus menuntun sepedanya di tanjakan meskipun adzan maghrib sudah berkumandang.
"Ya Allah, aku yang setiap hari bisa makan ini itu sesukaku tanpa harus bekerja keras, kenapa aku kadang lupa bersyukur?"
Ada tunawisma yang berteduh di emperan bangunan tak ditempati sambil memeluk tubuh menghalau dingin.
"Ya Allah, kenapa aku yang punya rumah, bisa hidup nyaman tanpa harus takut kepanasan atau kehujanan, kadang lupa bersyukur?"
Ada pengemis dengan pakaian lusuh dan penuh dengan jahitan, duduk menanti ada yang memberinya makan.
"Ya Allah, aku yang setiap hari bisa memilih baju mana yang ingin kupakai, kenapa kadang lupa untuk bersyukur?"
Rasanya malu dengan diri sendiri. Di antara milyaran nikmat yang Allah berikan, kadang aku masih suka lupa bersyukur. Mungkin kalian juga pernah merasakan ini. Karena mereka, aku menjadi lebih paham konsep "kehidupan di luar duniamu".
Ya, dibalik nasi yang tidak kita habiskan setiap makan, ada orang yang rela mengeruk tempat sampah demi mengais makanan yang sesungguhnya tak layak disebut makanan.
Dibalik uang yang kita hamburkan untuk bersenang dan bermewah, ada orang yang harus membanting tulang dari pagi hingga petang demi sedikit rupiah.
Di balik orang tua yang kadang kita sia-siakan, dengan lupa memberi kabar misalnya, ada anak-anak yang sedari kecil tak pernah merasakan gendongan seorang ayah atau pelukan seorang ibu.
Di balik baju-baju baru yang kita beli karena alasan telah bosan, ada orang yang rela tampil dengan tempelan kain perca di badannya.
Sesederhana itu, tapi kadang kita lupa bersyukur. Kadang mengucap "alhamdulillah" saja sering terlupa.
Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang fakir syukur ini.
Sekarang, aku sedang mencoba suatu siklus baru.
Ketika makanan yang kusukai tidak terhidang di meja, aku mencoba ingat kepada pengemis itu, lalu mengucap "alhamdulillah".
Ketika bapak dan ibu memarahiku karena hal kecil, yang dulunya aku lantas mengunci diri di kamar, aku mencoba mengingat anak yatim itu, lalu tersenyum dan mengucap "alhamdulillah."
Mari mensyukuri hal-hal kecil, nikmat sekecil apapun, mari bersyukur. Allah bahkan berjanji akan memberi lebih kepada mereka yang bersyukur.
Jadi hamba yang pandai bersyukur yuk!
Rini Khoirotun Nisa
Yogyakarta, 1 Mei 2018
Nampaknya, hanya pertanyaan sederhana. Padahal, tidak. Aku dari dulu ingin menuliskan ini, cuma belum sempat saja. Jadi cuma jadi draft di kepala, hehe.
Beberapa hari lalu, sepulang sekolah, kira-kira mendekati pukul enam, saya bertemu dengan beberapa orang yang menohok saya agar selalu bersyukur. Di senja yang seharusnya dihabiskan dengan meminum secangkir teh tanpa gula, banyak orang yang masih harus bekerja demi rupiah yang akan ditukar dengan sembako.
Ada bapak penjual koran yang (maaf) kakinya tidak berjalan dengan baik, ia masih berdiri dengan setumpuk koran di dekat lampu merah.
Hati saya mencelos. "Ya Allah, kenapa aku yang punya kaki normal, makan terjamin, kadang lupa bersyukur?"
Ada bapak penjual siomay yang harus menuntun sepedanya di tanjakan meskipun adzan maghrib sudah berkumandang.
"Ya Allah, aku yang setiap hari bisa makan ini itu sesukaku tanpa harus bekerja keras, kenapa aku kadang lupa bersyukur?"
Ada tunawisma yang berteduh di emperan bangunan tak ditempati sambil memeluk tubuh menghalau dingin.
"Ya Allah, kenapa aku yang punya rumah, bisa hidup nyaman tanpa harus takut kepanasan atau kehujanan, kadang lupa bersyukur?"
Ada pengemis dengan pakaian lusuh dan penuh dengan jahitan, duduk menanti ada yang memberinya makan.
"Ya Allah, aku yang setiap hari bisa memilih baju mana yang ingin kupakai, kenapa kadang lupa untuk bersyukur?"
Rasanya malu dengan diri sendiri. Di antara milyaran nikmat yang Allah berikan, kadang aku masih suka lupa bersyukur. Mungkin kalian juga pernah merasakan ini. Karena mereka, aku menjadi lebih paham konsep "kehidupan di luar duniamu".
Ya, dibalik nasi yang tidak kita habiskan setiap makan, ada orang yang rela mengeruk tempat sampah demi mengais makanan yang sesungguhnya tak layak disebut makanan.
Dibalik uang yang kita hamburkan untuk bersenang dan bermewah, ada orang yang harus membanting tulang dari pagi hingga petang demi sedikit rupiah.
Di balik orang tua yang kadang kita sia-siakan, dengan lupa memberi kabar misalnya, ada anak-anak yang sedari kecil tak pernah merasakan gendongan seorang ayah atau pelukan seorang ibu.
Di balik baju-baju baru yang kita beli karena alasan telah bosan, ada orang yang rela tampil dengan tempelan kain perca di badannya.
Sesederhana itu, tapi kadang kita lupa bersyukur. Kadang mengucap "alhamdulillah" saja sering terlupa.
Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang fakir syukur ini.
Sekarang, aku sedang mencoba suatu siklus baru.
Ketika makanan yang kusukai tidak terhidang di meja, aku mencoba ingat kepada pengemis itu, lalu mengucap "alhamdulillah".
Ketika bapak dan ibu memarahiku karena hal kecil, yang dulunya aku lantas mengunci diri di kamar, aku mencoba mengingat anak yatim itu, lalu tersenyum dan mengucap "alhamdulillah."
Mari mensyukuri hal-hal kecil, nikmat sekecil apapun, mari bersyukur. Allah bahkan berjanji akan memberi lebih kepada mereka yang bersyukur.
Jadi hamba yang pandai bersyukur yuk!
Rini Khoirotun Nisa
Yogyakarta, 1 Mei 2018
Komentar
Posting Komentar