Saya tipe orang yang suka mendengarkan cerita orang lain lalu menyemangati dan menguatkan mereka. Tapi ada satu waktu di mana nanti saya juga perlu dikuatkan. Ada waktu di mana saya akan ketakutan. Ketakutan tentang masa depan, kekhawatiran tentang cita-cita, apakah aku bisa meraih mimpiku atau tidak dan semuanya.
Kegagalan demi kegagalan pernah saya alami dalam proses menggapai impian, hingga saya cukup akrab dengan rasa kecewa, tangis sedih sebab usaha terasa sia-sia, dan juga penerimaan terhadap semua perasaan itu.
Pernah, dulu waktu SD, saya ikut lomba aksara jawa tingkat kabupaten. Kira-kira waktu itu kelas empat. Setiap hari saya berlatih di sekolah, bahkan di hari libur pun saya harus masuk sekolah dengan sepeda pink yang bahkan harus jatuh dengan memalukan ketika perjalanan menuju sekolah. Di hari lomba, saya telat datang, semua peserta sudah memulai mentranslitasikan aksara jawa di kertasnya masing-masing, sedang saya yang terburu-buru segera duduk dan mengejar lainnya. Tapi, waktu itu saya gagal. Dan mungkin ini kegagalan pertama yang saya rasakan. Di mana saya merasa sudah berjuang keras, tapi tidak berbuah. Saya sedih, lalu pulang dengan rasa kecewa. Saya takut dimarahi waktu itu, maklum masih SD hehe. Sampai rumah saya langsung menangis, lalu mamak datang, mencium pipiku dan mengucapkan kata-kata yang membuatku seketika tenang hari itu, sungguh saya masih ingat, mamak bilang "rapopo, nduk. Mamak wes bangga anakku tekan Wonosari." Jadi waktu itu lombanya emang di wonosari. Dulu saya belum paham apa maksud ucapan itu. Beberapa tahun kemudian, saya baru paham, itu adalah cara orang tua menghargai kerja keras dan usaha anaknya. Meskipun aku gagal, meskipun aku tidak bisa membawa pulang piala, mamak tetap bangga katanya.
Semenjak saat itu, setiap kali aku ikut lomba dan gagal, mamak menjadi penyuplai energiku untuk bangkit kembali. Saat SMP di mana aku kalah di lomba story telling pun, beliau adalah ibu terhebat bagi saya yang menghargai kegagalan demi kegagalan yang saya alami dan tidak pernah merendahkannya.
Waktu SMA, saya pernah gagal juga, tahun 2017, bulan Juli. Waktu itu bahkan saya takut mengatakan hasilnya kepada mamak, saat beliau menjemput saya hanya memasang senyum sendu, lalu bilang "kalah." Mamak hanya senyum, lalu bilang "rapopo, sesuk dicoba meneh ya."
Di perjalanan saya menangis di motor, lalu bilang ke mamak "mak, maaf nggih. Nisa dereng saged mbanggake mamak," sambil sesenggukan.
Mamak malah tertawa, sambil terus berkata bahwa nggak apa-apa. Masih ada waktu selanjutnya.
Di rumah, ketika aku usai istirahat lalu pergi ke dapur, beliau bilang, "mamak wes bangga anakku iso tekan titik iki, mamak wes bangga nduk."
Saya auto nangis lagi waktu itu dan bertekad tahun depan akan mencoba lagi dan bikin bangga mamak dan bapak.
Dari semua hal itu saya belajar, menerima dan menghargai kegagalan yang kita alami jauh lebih melegakan dibandingkan menyalahkan dan menghakiminya.
Gagal? Ya sudah diterima, dinikmati rasanya, lalu coba lagi. Kita bukannya memang harus melewati banyak tangga untuk sampai ke lantai yang lebih tinggi? Kadang tangganya licin, kadang kita terpeleset, kadang kita harus turun lagi karena ada yang tertinggal, ibaratnya seperti itu. Sama seperti memperjuangkan impian bukan?
Sore ini, saya kembali khawatir dengan masa depan. UTBK dan UN sebentar lagi, persiapan saya belum ada, masih banyak kesulitan yang belum saya pecahkan, rasanya mimpi-mimpi saya menjadi tidak mungkin. Lucu ya, saya sering menulis tentang percaya pada diri sendiri, tapi kali ini saya sama sekali tidak bisa mempercayai diri saya sendiri. Hujan tadi, saya cerita ke Mamak, cerita apa saja yang saya rasakan, ketakutan-ketakutan itu, kekhawatiran itu. Dan semuanya langsung hilang, hanya dengan mendengar kalimat sederhana dari mamak:
"Iso Nis, Iso."
Tiga kata yang begitu kuat dampaknya hingga saya menuliskan ini.
Rini Khoirotun Nisa,
Yogyakarta, 20 Desember 2018.
SEMANGATTT !!! ,:)
BalasHapusTerima kasih yaaa! Siapapun kamu semangat jugaaa! Semoga segalanya dimudahkan :)
Hapus